Plak.
Bukkk.
“Ampun
bu, ampunnn...” Terdengar suara memelas minta ampun di sela tangisan menyeruak
sekali di telingaku.
“Diam
kamu!!! Percuma kamu hidup di dunia!” Bentak seorang wanita membelah kesunyian
gang sempit yang tengah ku lewati. Kutelusuri sumber suaranya. Tak jauh melangkahkan
kaki, sekarang aku tepat berada di depan tempat suara itu berasal. Ya, rumah
wanita yang berteriak itu. Rumah petakan di gang kecil kampung Pecinan, sebuah
kampung dekat komplek rumahku.
Plakkk...
Bunyi
tepakanpun makin kencang, entah tepakan apa.
“Ibuu
sakittt.” Kali ini terdengar jeritan merintih tanda kesakitan. Masih dari suara
yang sama, suara yang tadi memelas minta ampun, diikuti dengan nada cempreng
khas anak kecil. Oh, mungkin yang punya suara cempreng itu anak dari wanita
itu. Berarti... wanita itu ibu dari anak itu.
Ada
apa dengan anak kecil yang tak berdosa itu?
“Ampun
bu ampun,” Ia meminta ampun lagi. Tangisnya
semakin menjadi-jadi. “aku janji ga bakal makan makanan punya ade kecil lagi
bu... Ampunnn.”
“Alah,
diam kamu!!!” Bukannya iba, ibunya malah semakin tidak puas memukulnya.
Cuma
karena makanan? Ya ampun, ada apa dengan Ibunya? Apa dia lagi kepusingan
memikirkan harga sembako yang kunjung meroket? Apa ia pasien rumah sakit jiwa
yang kabur karena tak kuat menanggung beban moral kemelaratannya? Satu kata,
gila! YA, GILA! Kau bisa cari tahu sendiri alasannya, kan?!
Perang
pun semakin sengit. Perang Dunia ketiga, itulah yang biasa orang-orang bilang
kalau sedang terjadi perang sengit seperti itu. Rasanya telingaku ingin
meledak, panasss! Masih ingat dengan peristiwa bom di hotel Mariot dan Ritz
Carlton kan? Tahukah kamu? AKU INGIN MELEMPARI IBUNYA DENGAN KEDUA BOM ITU SEKARANG
JUGA!!!!!!!!!! Hei!!! Dia pikir dia siapa berani menindas dan melindas anaknya
seperti itu? Dia ibu dari anak itu, CUMA IBU!!! BUKAN TUHANNYA!!!!!
Tiba-tiba
wanita itu membuka pintu rumahnya. Wajahnya merah padam. Ia melihatku seperti
menguping. Aku tersentak. Cepat saja aku berjalan seperti hanya tengah melewati
rumahnya, berpura-pura tidak tahu apa-apa. Padahal dalam hatiku... Grrrrr.
Wanita
itu seperti ibu rumah tangga biasa, namun umurnya belum terlalu tua malah
terlihat seperti masih remaja . Kulihat ia sedang menggendong anak kecilnya
yang lain. Mungkin anak kecil yang sedang ia gendong itu adik dari anak yang
tadi menangis merintih kesakitan. Anak itu juga ikut menangis seperti kakaknya.
Ia terlihat sangat kerepotan sekali menghentikan tangisan kedua anaknya.
Sampailah
aku di warung kopi yang terletak di ujung gang, masih tak jauh dari rumah wanita
itu. Kulihat berbagai jenis makanan dijual di warung itu. Mulai dari nasi dan
lauk-pauknya, gorengan, sampai kue-kue tradisional. Sangat lengkap meskipun
hanya warung kopi berbilik bambu. Aku pun memesan nasi dan ayam goreng serta
sedikit makanan kecil lainnya. Perutku sudah menjerit meminta diisi. Kemudian aku
duduk di bangku panjang warung sambil tetap mengintai dan mengawasi rumah itu
dan gerak-gerik penghuninya.
Tunggu...
Sebenernya
aku sedang apa sih? Itu kan urusan internal rumah tangga antara ibu dan anaknya.
Buat apa aku melakukan hal ini? Sebegitu ingin tahukahnya aku? Kenalin! Aku
detektif dadakan kampung Pecinan, ada yang mau sewa aku? Uh.
Tiba-tiba
terlintas di pikiranku yang rasa keingintahuannya sedang OD alias over dosis
ini untuk menanyakan tentang ibu dan anak itu kepada ibu pemilik warung kopi di
mana aku berada sekarang. Mmm... dilihat-lihat wajahnya memancarkan aura ramah
bersahaja. Tak seperti aura wajah wanita itu merah padam.
“Ini
neng nasi sama ayam gorengnya, nah ini kuenya.” Ibu pemilik warung kopi memberikan
sebuah piring berisi nasi dan ayam goreng serta sebuah piring berisi beberapa
makanan kecil yang tadi aku pesan dengan tersenyum ramah. Dugaanku terbukti.
Tekadku untuk mencari tahu tentang ibu dan anak itu kepadanya semakin bulat.
“Makasih
ibu.” Balasku tersenyum balik.
“Sippp
neng.” Ibu pemilik warung kopi itu tersenyum lagi, kali ini dengan wajah puas sumringahnya.
Orang seperti dia biasanya adalah orang yang tidak pernah meninggalkan urat
senyumnya di rumah. “Mau es teh manisnya juga ga neng? Lagi panas-panas gini
enaknya minum yang dingin-dingin biar brrr.” Kali ini ia malah berpromosi.
“Boleh
deh bu satu, gulanya jangan banyak-banyak ya. Huh, emang lagi panas-panasnya
ya.” Keluhku padanya.
“Sip
deh nenggg. Iya neng, emang lagi panas banget sekarang-sekarang mah. Maklum global warming neng.” Ia pun mulai berceloteh
tentang naiknya suhu udara belakangan ini. Tapi aku malah melamun tak percaya.
Zaman telah berubah 180 derajat! Hanya punya warung kopi saja bisa tahu dunia
dan perubahannya.
“Iya
bu, dunia tambah rusak soalnya.” Sambungku sedikit, masih dalam lamunan tak
percayaku.
“Ibu
heran. Manusia yang jadi penghuni utamanya kok ya bukan ngejaga malah makin
ngerusak. Rasanya embel-embel ‘Go Green!’ atau ‘Stop Global Warming!’ juga
percuma kalau ga mulai dari diri manusia itu sendiri.” Ia melanjutkan
celotehannya itu sambil mengaduk es teh manis pesananku. Aku semakin terlarut
dalam lamunan kagumku kepadanya. Celotehannya yang tadi itu bukan sekedar omong
kosong belaka, terbukti dari bersihnya warung kopi yang ia miliki. Orang kecil
bukan berarti wawasannya juga harus kecil! “Ini neng es teh manisnya, neng
neng?” Ia pun heran kenapa tiba-tiba aku melamun tanpa ekspresi seperti itu. Ia
melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku berusaha membuyarkan lamunanku.
“Eh
iya iya bu.” Ternyata ia berhasil.
“Ini
neng es teh manisnya, dijamin syegerrr brrr.” Guyonnya membuat hari yang panas
ini seperti tertiup angin sejuk tawanya.
“Haha si ibu bisa aja.” Aku pun ikut tertawa.
“Haha.”
Kami pun tertawa bersama.
Mungkin
sekarang saatnya...
“Bu,
saya mau nanya sesuatu boleh?” Tanyaku sedikit ragu.
“Engga
boleh.” Jawabannya membuat ku shock. “Boleh
ko neng boleh, haha.” Kali ini candanya membuat ku down.
“Huh
ibu bikin saya deg-degan aja.” Ucapku cemberut. Serius! kali ini candaannya
membuat jantungku seperti mau copot.
“Haha,
maaf atuh neng.” Segera saja ia meminta maaf kepadaku.
“Iya
gapapa bu, huh.” Aku menarik napas.
“Mau
nanya apa neng?” Tanya ibu itu kepadaku. Mungkin ia juga penasaran apa yang
ingin aku tanyakan kepadanya.
“Ibu
tau ga yang punya rumah warna ijo itu?” Tanyaku sambil melihat rumah petak
warna hijau tak jauh dari warung kopi tempat aku berada sekarang. Rumah wanita
itu.
Ibu
pemilik warung kopi menghampiriku kemudian sama-sama melihat ke arah yang sama,
rumah berwarna hijau itu. “Oh, rumah kontrakan paling pojok itu? Iya tau ko,
kenapa neng?” Ia balik bertanya kepadaku. Ia duduk di sampingku sekarang.
“Tadi
saya lagi jalan mau ke sini lewat depan rumah itu. Tiba-tiba saya denger ada suara
anak kecil di dalem rumah itu lagi ngejerit kesakitan. Abis itu, ada suara
ngebentak-bentak. Saya pikir sih suara bentakan itu suara ibunya. Terus saya
denger bunyi tepakan keras tapi saya ga tau bunyi tepakan apa.” Paparku.
“Oh,
Tina... Biasa neng.” Jawabnya dengan nada datar.
Namanya
Tina.
“Biasa
gimana maksud ibu?” Tanyaku tidak sabar. Aku semakin menggebu-gebu ingin tahu tentang
apa yang terjadi dengan Tina – ya, ia yang tadi aku ingin lempari dengan bom –
dan anaknya itu.
“Dia
mukulin anaknya lagi.”
“Emangnya
sering bu dia mukulin anak sendiri?”
“Bukan
sering lagi neng, kayanya dia ga puas kalo sehari aja ga mukulin Wahid.”
“Wahid?”
“Iya
anak yang tadi neng denger ngejerit kesakitan.”
“Oh,
anak itu namanya Wahid. Terus tadi saya liat ibunya Wahid juga ngegendong anak
kecil, tapi lebih kecil dari Wahid.”
“Iya Wahid punya ade perempuan namanya
Aini.”
Ternyata aku bertanya pada sumber yang
tepat. Ibu pemilik warung kopi ini sepertinya juga tahu banyak tentang mereka.
“Ohhh.”
Mulutku terbuka lebar. “Tadi saya denger, Wahid dipukulin cuma garagara dia
makan makanan adenya bu.”
“Pantes kalo Wahid makan makanan adenya,
dia aja sering ga dikasih makan sama ibunya.”
“Hah? Ga dikasih makan?” Tanyaku tak
percaya. Rasa kesalku kepada ibunya Wahid semakin menjadi-jadi. Jika
diibaratkan gunung mungkin sekarang aku telah berada di puncaknya.
“Iya neng.”
Tega! Wahid kan anaknya sendiri! Yang dia
kandung selama sembilan bulan, yang dia lahirkan dengan susah payah. Buat apa
Wahid hidup di dunia ini kalau hanya untuk dia pukuli? Sebuas-buasnya harimau aja
ga berani makan anak sendiri!
“Ko dia tega banget bu? Wahid kan anak
dia sendiri.”
“Mungkin itu timbal balik dari perlakuan
ayah Tina dulu.”
“Maksud ibu?” Tanyaku bingung.
“Dulu, Tina juga sering dipukulin sama bapaknya.
Ga di kasih makan.”
“Jadi, maksud ibu... Tina balas dendam karena
masa lalunya yang kelam itu?”
Aku mulai mengerti motif Tina, mengapa
ia melakukan tindakan seperti itu terhadap anaknya sendiri.
“Ya... bisa dibilang begitu. Tina kecil
sebenarnya anak yang manis, penurut, dan pintar. Waktu umurnya lima belas
tahun, dia pernah cerita ke ibu kalau dia pingin jadi psikolog. Tapi... cita-citanya
cuma jadi keinginan yang ga tercapai. Di umurnya yang mau 19 tahun ini dia ga
pernah mendapat kesempatan untuk meraih cita-citanya itu.” Cerita ibu pemilik
warung kopi dengan mirisnya.
Jadi dugaanku benar lagi. Umurku hanya
lebih muda dua tahun dari umur Tina. Dia masih remaja, sama sepertiku.
“Loh, kenapa begitu bu?” Tanyaku.
“Bapaknya malah menghancurkan segalanya.
Hidup, harapan, mimpi, dan cita-citanya. Ga lama setelah Tina bilang itu ke
ibu, bapaknya maksa Tina berhenti sekolah biar Tina bisa nikah dengan seorang
pengusaha kaya asal Kalimantan. Tina jelas-jelas nolak. Saat itulah dia
benar-benar pingin menggapai cita-citanya itu. Tapi lagi-lagi... bapaknya nyiksa
Tina biar Tina bisa cepet-cepet nikah sama pengusaha itu supaya dia bisa dapat
kekayaan pengusaha itu. Ya... mau gimana lagi? Tina ga bisa apa-apa. Akhirnya
dia nerima perjodohan paksa itu.”
Di zaman seperti ini masih ada juga Siti
Nurbaya?
“Kejam...”
“Ya seperti itulah. Semua berawal dari
perlakuan bapak Tina terhadap Tina.”
“Tapi kenapa dia balas dendam ke anaknya?
Apa salah anaknya ke dia?”
“Entahlah, mungkin dia sakit hati sekali
sama bapaknya. Ibu juga ga ngerti. Ibu sama warga lainnya udah capek ngasih tau
dia. Ibu mah cuma kasian sama anaknya aja neng.” Keluhnya seperti tak acuh. Mungkin
ia dan warga lainnya sudah beribu-ribu kali memberitahu Tina agar tidak seperti
itu terhadap anaknya, tetapi tetap saja tidak digubris.
“Itu
kan tindak kekerasan, bu. Kenapa ga dilaporin ke pak RT aja? Biar pak RT yang
nindak.”
“Kami
juga capek ngandelin pak RT.”
“Pak
RW?”
“Sama
aja.”
“Pak
lurah? Pak camat? ... ” Sebelum aku melanjutkan pertanyaanku yang semakin tidak
terarah kepadanya...
“Sama
aja. Pemimpin zaman sekarang butuh kami cuma kalo lagi pemilihan, kalo udah
kepilih ya mereka buang kami.” Nah... ini. “Sekarang, kalo warganya lagi krisis
dan kritis kaya gini apa mereka bertindak sesuatu? Mereka diam! Diam! Celotehan
mereka sendiri ga bisa dibuktiin, satu-satunya bukti tanggung jawab mereka ke
kami ya cuma omong kosong mereka.” Lanjutnya. Sekejap aku pun kembali dibuat
terperangah olehnya. Kecaman yang baru saja ia lontarkan bukan hanya tajam dan
sinis tetapi juga menusuk! Dari ucapannya tadi tidak terlihat ia hanyalah
seorang pemilik warung kopi. Orang kecil bukan berarti berhenti beraspirasi!
Aku
jadi ingin sedikit menyanggahnya. “Tapi, ga semua dari mereka kaya begitu kan
bu?” Memang, seiring berjalannya waktu makin banyak pemimpin yang seperti itu.
Tapi masih banyak juga kan pemimpin yang bertanggung jawab?
“Emang.
Tapi nasib buruk di Pecinan, semua pemimpin kami seperti itu.”
Aku
tak dapat menyanggahnya lagi. Kenapa aku jadi seperti mereka di depan ibu
pemilik warung kopi itu sekarang? Diam seribu bahasa, tak dapat berkutik. Aku
jadi merasa dibuat terpojok olehnya.
“Ngomong-ngomong
eneng teh siapa? Rasa-rasanya ibu baru liat neng sekarang. Kayanya neng bukan
warga kampung ini ya?” Entah mengapa ia malah mengalihkan topik pembicaraan
kami. Mungkin ia mengerti aku tak dapat berkata apa-apa lagi setelah mendengar
jawabannya atas sanggahanku yang datar namun bermakna sedalam jurang itu.
“Oh
ya saya Amal, bu. Iya bu saya bukan warga kampung Pecinan, saya tinggal di
komplek sebelah kampung ini.”
“Wah,
komplek yang rumahnya gedongan semua itu neng? Neng ngapain ke kampung ini? Kampung
ini kan kampung kumuh.”
“Iya
bu, hehe. Saya lagi jalan-jalan di kampung Pecinan, pingin nikmatin suasana
kampung ini.”
“Apa
yang mau dinikmatin dari kampung ini? Haha.” Ia tertawa sendiri.
“Saya
pingin menikmati sisi lain dari kota ini bu. Ya Pecinan inilah sisi lainnya.”
Aku memandang sekeliling kampung Pecinan. Ia malah seperti tidak percaya
mendengar jawabanku.
“Neng
masih sekolah apa udah kuliah?”
‘Saya
udah kuliah, bu.” Jawabku.
“Kuliah
di mana neng? Jurusan apa?”
“Psikologi
UI, bu.” Jawabku lagi.
“Waw,
keren! Kapan-kapan ibu konsultasi sama kamu boleh ya? Haha.” Tanyanya penuh
canda.
“Boleh
bu, boleh banget malah. Hihihi” Jawabku dengan penuh semangat.
“Mungkin...
kalau Tina ga dipaksa nikah muda sama bapaknya dia bisa kaya kamu Mal.” Ucapnya
miris. Raut wajahnya berubah. Tak seperti biasanya, kini ia menunjukkan raut kesedihan
yang mendalam.
“Iya
bu...” Balasku dengan raut muka yang sama.
“Kamu
harus berjuang ya mal! Ga semua orang bernasib baik seperti kamu. Orang tuamu
pasti sangat mendukungmu.” Ia memberi dukungan kepadaku dengan penuh semangat.
Pundakku pun ditepuknya dengan semangat yang sama.
“Iya
bu!” Jawabku pun sama semangatnya. Sebenarnya pundakku sakit ditepuknya, hehe.
Tapi tak apa, tepukannya itu menyadarkankanku bahwa aku memang benar-benar
beruntung! Tak lama lagi aku akan meraih cita-cita masa kecilku menjadi seorang
psikolog. Sangat jauh lebih beruntung dari Tina yang memimpikan cita-cita yang
sama namun kandas di tengah jalan. Ditambah kedua orang tua yang sangat sayang
kepadaku dan mendukungku sedari kecil untuk meraih cita-citaku ini.
“Ayo
dimakan! Keasyikan ngobrol jadi lupa ayam gorengnya udah dingin tuh.” Suruh ibu
pemilik warung kopi itu agar aku segera memakan makananku. Aku pun lupa dengan
makananku saking terlarut dalam bincang-bincang mengesankan yang melibatkan ia
sebagai narasumbernya. Padahal perutku sudah sangat ribut sekali tadi.
“Iya
bu, hihi.” Aku pun tersenyum kepadanya.
Kami
pun kembali tertawa bersama.
Tak
lama setelah menghabiskan makananku, aku pamit pulang pada ibu pemilik warung
kopi itu. Ia berkata padaku agar jangan lupa sering-sering main ke kampung
Pecinan dan ke warung kopinya. Aku pun berjanji akan sesering mungkin main ke
sana.
Hari
ini aku seperti mendapatkan seton emas. Emas yang lebih berharga dari sekedar
emas. Sebuah pelajaran hidup. Tina, anaknya; Wahid, dan terutama ibu pemilik
warung kopi itu.
Suatu
saat semua akan mengerti, sesungguhnya bukan karena menjadi orang kecil
kehidupan akan menjadi kecil. Bukan kecil yang menjadi dasar dari semua alasan
untuk menyerah. Bukan kecil yang membiarkan kesalahan berkuasa. Menjadi kecillah
untuk mengetahui dunia dan perubahannya. Tunjuklah kebenaran senyata-nyatanya!
Tetaplah beraspirasi! Karena kecil itulah yang dapat mengukir arti yang besar
bagi diri sendiri dan orang-orang berharga yang mengelilingi.