Minggu, 27 Mei 2012

Kecil Tak Berarti Kecil

Plak. Bukkk.
“Ampun bu, ampunnn...” Terdengar suara memelas minta ampun di sela tangisan menyeruak sekali di telingaku.
“Diam kamu!!! Percuma kamu hidup di dunia!” Bentak seorang wanita membelah kesunyian gang sempit yang tengah ku lewati. Kutelusuri sumber suaranya. Tak jauh melangkahkan kaki, sekarang aku tepat berada di depan tempat suara itu berasal. Ya, rumah wanita yang berteriak itu. Rumah petakan di gang kecil kampung Pecinan, sebuah kampung dekat komplek rumahku.
Plakkk...
Bunyi tepakanpun makin kencang, entah tepakan apa.
“Ibuu sakittt.” Kali ini terdengar jeritan merintih tanda kesakitan. Masih dari suara yang sama, suara yang tadi memelas minta ampun, diikuti dengan nada cempreng khas anak kecil. Oh, mungkin yang punya suara cempreng itu anak dari wanita itu. Berarti... wanita itu ibu dari anak itu.
Ada apa dengan anak kecil yang tak berdosa itu?
“Ampun bu ampun,”  Ia meminta ampun lagi. Tangisnya semakin menjadi-jadi. “aku janji ga bakal makan makanan punya ade kecil lagi bu... Ampunnn.”
“Alah, diam kamu!!!” Bukannya iba, ibunya malah semakin tidak puas memukulnya.
Cuma karena makanan? Ya ampun, ada apa dengan Ibunya? Apa dia lagi kepusingan memikirkan harga sembako yang kunjung meroket? Apa ia pasien rumah sakit jiwa yang kabur karena tak kuat menanggung beban moral kemelaratannya? Satu kata, gila! YA, GILA! Kau bisa cari tahu sendiri alasannya, kan?!
Perang pun semakin sengit. Perang Dunia ketiga, itulah yang biasa orang-orang bilang kalau sedang terjadi perang sengit seperti itu. Rasanya telingaku ingin meledak, panasss! Masih ingat dengan peristiwa bom di hotel Mariot dan Ritz Carlton kan? Tahukah kamu? AKU INGIN MELEMPARI IBUNYA DENGAN KEDUA BOM ITU SEKARANG JUGA!!!!!!!!!! Hei!!! Dia pikir dia siapa berani menindas dan melindas anaknya seperti itu? Dia ibu dari anak itu, CUMA IBU!!! BUKAN TUHANNYA!!!!!
Tiba-tiba wanita itu membuka pintu rumahnya. Wajahnya merah padam. Ia melihatku seperti menguping. Aku tersentak. Cepat saja aku berjalan seperti hanya tengah melewati rumahnya, berpura-pura tidak tahu apa-apa. Padahal dalam hatiku... Grrrrr.
Wanita itu seperti ibu rumah tangga biasa, namun umurnya belum terlalu tua malah terlihat seperti masih remaja . Kulihat ia sedang menggendong anak kecilnya yang lain. Mungkin anak kecil yang sedang ia gendong itu adik dari anak yang tadi menangis merintih kesakitan. Anak itu juga ikut menangis seperti kakaknya. Ia terlihat sangat kerepotan sekali menghentikan tangisan kedua anaknya.
Sampailah aku di warung kopi yang terletak di ujung gang, masih tak jauh dari rumah wanita itu. Kulihat berbagai jenis makanan dijual di warung itu. Mulai dari nasi dan lauk-pauknya, gorengan, sampai kue-kue tradisional. Sangat lengkap meskipun hanya warung kopi berbilik bambu. Aku pun memesan nasi dan ayam goreng serta sedikit makanan kecil lainnya. Perutku sudah menjerit meminta diisi. Kemudian aku duduk di bangku panjang warung sambil tetap mengintai dan mengawasi rumah itu dan gerak-gerik penghuninya.
Tunggu...
Sebenernya aku sedang apa sih? Itu kan urusan internal rumah tangga antara ibu dan anaknya. Buat apa aku melakukan hal ini? Sebegitu ingin tahukahnya aku? Kenalin! Aku detektif dadakan kampung Pecinan, ada yang mau sewa aku? Uh.
Tiba-tiba terlintas di pikiranku yang rasa keingintahuannya sedang OD alias over dosis ini untuk menanyakan tentang ibu dan anak itu kepada ibu pemilik warung kopi di mana aku berada sekarang. Mmm... dilihat-lihat wajahnya memancarkan aura ramah bersahaja. Tak seperti aura wajah wanita itu merah padam.
“Ini neng nasi sama ayam gorengnya, nah ini kuenya.” Ibu pemilik warung kopi memberikan sebuah piring berisi nasi dan ayam goreng serta sebuah piring berisi beberapa makanan kecil yang tadi aku pesan dengan tersenyum ramah. Dugaanku terbukti. Tekadku untuk mencari tahu tentang ibu dan anak itu kepadanya semakin bulat.
“Makasih ibu.” Balasku tersenyum balik.
“Sippp neng.” Ibu pemilik warung kopi itu tersenyum lagi, kali ini dengan wajah puas sumringahnya. Orang seperti dia biasanya adalah orang yang tidak pernah meninggalkan urat senyumnya di rumah. “Mau es teh manisnya juga ga neng? Lagi panas-panas gini enaknya minum yang dingin-dingin biar brrr.” Kali ini ia malah berpromosi.
“Boleh deh bu satu, gulanya jangan banyak-banyak ya. Huh, emang lagi panas-panasnya ya.” Keluhku padanya.
“Sip deh nenggg. Iya neng, emang lagi panas banget sekarang-sekarang mah. Maklum global warming neng.” Ia pun mulai berceloteh tentang naiknya suhu udara belakangan ini. Tapi aku malah melamun tak percaya. Zaman telah berubah 180 derajat! Hanya punya warung kopi saja bisa tahu dunia dan perubahannya.
“Iya bu, dunia tambah rusak soalnya.” Sambungku sedikit, masih dalam lamunan tak percayaku.
“Ibu heran. Manusia yang jadi penghuni utamanya kok ya bukan ngejaga malah makin ngerusak. Rasanya embel-embel ‘Go Green!’ atau ‘Stop Global Warming!’ juga percuma kalau ga mulai dari diri manusia itu sendiri.” Ia melanjutkan celotehannya itu sambil mengaduk es teh manis pesananku. Aku semakin terlarut dalam lamunan kagumku kepadanya. Celotehannya yang tadi itu bukan sekedar omong kosong belaka, terbukti dari bersihnya warung kopi yang ia miliki. Orang kecil bukan berarti wawasannya juga harus kecil! “Ini neng es teh manisnya, neng neng?” Ia pun heran kenapa tiba-tiba aku melamun tanpa ekspresi seperti itu. Ia melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku berusaha membuyarkan lamunanku.
“Eh iya iya bu.” Ternyata ia berhasil.
“Ini neng es teh manisnya, dijamin syegerrr brrr.” Guyonnya membuat hari yang panas ini seperti tertiup angin sejuk tawanya.
 “Haha si ibu bisa aja.” Aku pun ikut tertawa.
“Haha.” Kami pun tertawa bersama.
Mungkin sekarang saatnya...
“Bu, saya mau nanya sesuatu boleh?” Tanyaku sedikit ragu.
“Engga boleh.” Jawabannya membuat ku shock. “Boleh ko neng boleh, haha.” Kali ini candanya membuat ku down.
“Huh ibu bikin saya deg-degan aja.” Ucapku cemberut. Serius! kali ini candaannya membuat jantungku seperti mau copot.
“Haha, maaf atuh neng.” Segera saja ia meminta maaf kepadaku.
“Iya gapapa bu, huh.” Aku menarik napas.
“Mau nanya apa neng?” Tanya ibu itu kepadaku. Mungkin ia juga penasaran apa yang ingin aku tanyakan kepadanya.
“Ibu tau ga yang punya rumah warna ijo itu?” Tanyaku sambil melihat rumah petak warna hijau tak jauh dari warung kopi tempat aku berada sekarang. Rumah wanita itu.
Ibu pemilik warung kopi menghampiriku kemudian sama-sama melihat ke arah yang sama, rumah berwarna hijau itu. “Oh, rumah kontrakan paling pojok itu? Iya tau ko, kenapa neng?” Ia balik bertanya kepadaku. Ia duduk di sampingku sekarang.
“Tadi saya lagi jalan mau ke sini lewat depan rumah itu. Tiba-tiba saya denger ada suara anak kecil di dalem rumah itu lagi ngejerit kesakitan. Abis itu, ada suara ngebentak-bentak. Saya pikir sih suara bentakan itu suara ibunya. Terus saya denger bunyi tepakan keras tapi saya ga tau bunyi tepakan apa.” Paparku.
“Oh, Tina... Biasa neng.” Jawabnya dengan nada datar.
Namanya Tina.
“Biasa gimana maksud ibu?” Tanyaku tidak sabar. Aku semakin menggebu-gebu ingin tahu tentang apa yang terjadi dengan Tina – ya, ia yang tadi aku ingin lempari dengan bom – dan anaknya itu.
“Dia mukulin anaknya lagi.”
“Emangnya sering bu dia mukulin anak sendiri?”
“Bukan sering lagi neng, kayanya dia ga puas kalo sehari aja ga mukulin Wahid.”
“Wahid?”
“Iya anak yang tadi neng denger ngejerit kesakitan.”
“Oh, anak itu namanya Wahid. Terus tadi saya liat ibunya Wahid juga ngegendong anak kecil, tapi lebih kecil dari Wahid.”
“Iya Wahid punya ade perempuan namanya Aini.”
Ternyata aku bertanya pada sumber yang tepat. Ibu pemilik warung kopi ini sepertinya juga tahu banyak tentang mereka.
 “Ohhh.” Mulutku terbuka lebar. “Tadi saya denger, Wahid dipukulin cuma garagara dia makan makanan adenya bu.”
“Pantes kalo Wahid makan makanan adenya, dia aja sering ga dikasih makan sama ibunya.”
“Hah? Ga dikasih makan?” Tanyaku tak percaya. Rasa kesalku kepada ibunya Wahid semakin menjadi-jadi. Jika diibaratkan gunung mungkin sekarang aku telah berada di puncaknya.
“Iya neng.”
Tega! Wahid kan anaknya sendiri! Yang dia kandung selama sembilan bulan, yang dia lahirkan dengan susah payah. Buat apa Wahid hidup di dunia ini kalau hanya untuk dia pukuli? Sebuas-buasnya harimau aja ga berani makan anak sendiri!
“Ko dia tega banget bu? Wahid kan anak dia sendiri.”
“Mungkin itu timbal balik dari perlakuan ayah Tina dulu.”
“Maksud ibu?” Tanyaku bingung.
“Dulu, Tina juga sering dipukulin sama bapaknya. Ga di kasih makan.”
“Jadi, maksud ibu... Tina balas dendam karena masa lalunya yang kelam itu?”
Aku mulai mengerti motif Tina, mengapa ia melakukan tindakan seperti itu terhadap anaknya sendiri.
“Ya... bisa dibilang begitu. Tina kecil sebenarnya anak yang manis, penurut, dan pintar. Waktu umurnya lima belas tahun, dia pernah cerita ke ibu kalau dia pingin jadi psikolog. Tapi... cita-citanya cuma jadi keinginan yang ga tercapai. Di umurnya yang mau 19 tahun ini dia ga pernah mendapat kesempatan untuk meraih cita-citanya itu.” Cerita ibu pemilik warung kopi dengan mirisnya.
Jadi dugaanku benar lagi. Umurku hanya lebih muda dua tahun dari umur Tina. Dia masih remaja, sama sepertiku.
“Loh, kenapa begitu bu?” Tanyaku.
“Bapaknya malah menghancurkan segalanya. Hidup, harapan, mimpi, dan cita-citanya. Ga lama setelah Tina bilang itu ke ibu, bapaknya maksa Tina berhenti sekolah biar Tina bisa nikah dengan seorang pengusaha kaya asal Kalimantan. Tina jelas-jelas nolak. Saat itulah dia benar-benar pingin menggapai cita-citanya itu. Tapi lagi-lagi... bapaknya nyiksa Tina biar Tina bisa cepet-cepet nikah sama pengusaha itu supaya dia bisa dapat kekayaan pengusaha itu. Ya... mau gimana lagi? Tina ga bisa apa-apa. Akhirnya dia nerima perjodohan paksa itu.”
Di zaman seperti ini masih ada juga Siti Nurbaya?
“Kejam...”
“Ya seperti itulah. Semua berawal dari perlakuan bapak Tina terhadap Tina.”
“Tapi kenapa dia balas dendam ke anaknya? Apa salah anaknya ke dia?”
“Entahlah, mungkin dia sakit hati sekali sama bapaknya. Ibu juga ga ngerti. Ibu sama warga lainnya udah capek ngasih tau dia. Ibu mah cuma kasian sama anaknya aja neng.” Keluhnya seperti tak acuh. Mungkin ia dan warga lainnya sudah beribu-ribu kali memberitahu Tina agar tidak seperti itu terhadap anaknya, tetapi tetap saja tidak digubris.
“Itu kan tindak kekerasan, bu. Kenapa ga dilaporin ke pak RT aja? Biar pak RT yang nindak.”
“Kami juga capek ngandelin pak RT.”
“Pak RW?”
“Sama aja.”
“Pak lurah? Pak camat? ... ” Sebelum aku melanjutkan pertanyaanku yang semakin tidak terarah kepadanya...
“Sama aja. Pemimpin zaman sekarang butuh kami cuma kalo lagi pemilihan, kalo udah kepilih ya mereka buang kami.” Nah... ini. “Sekarang, kalo warganya lagi krisis dan kritis kaya gini apa mereka bertindak sesuatu? Mereka diam! Diam! Celotehan mereka sendiri ga bisa dibuktiin, satu-satunya bukti tanggung jawab mereka ke kami ya cuma omong kosong mereka.” Lanjutnya. Sekejap aku pun kembali dibuat terperangah olehnya. Kecaman yang baru saja ia lontarkan bukan hanya tajam dan sinis tetapi juga menusuk! Dari ucapannya tadi tidak terlihat ia hanyalah seorang pemilik warung kopi. Orang kecil bukan berarti berhenti beraspirasi!
Aku jadi ingin sedikit menyanggahnya. “Tapi, ga semua dari mereka kaya begitu kan bu?” Memang, seiring berjalannya waktu makin banyak pemimpin yang seperti itu. Tapi masih banyak juga kan pemimpin yang bertanggung jawab?
“Emang. Tapi nasib buruk di Pecinan, semua pemimpin kami seperti itu.”
Aku tak dapat menyanggahnya lagi. Kenapa aku jadi seperti mereka di depan ibu pemilik warung kopi itu sekarang? Diam seribu bahasa, tak dapat berkutik. Aku jadi merasa dibuat terpojok olehnya.
“Ngomong-ngomong eneng teh siapa? Rasa-rasanya ibu baru liat neng sekarang. Kayanya neng bukan warga kampung ini ya?” Entah mengapa ia malah mengalihkan topik pembicaraan kami. Mungkin ia mengerti aku tak dapat berkata apa-apa lagi setelah mendengar jawabannya atas sanggahanku yang datar namun bermakna sedalam jurang itu.
“Oh ya saya Amal, bu. Iya bu saya bukan warga kampung Pecinan, saya tinggal di komplek sebelah kampung ini.”
“Wah, komplek yang rumahnya gedongan semua itu neng? Neng ngapain ke kampung ini? Kampung ini kan kampung kumuh.”
“Iya bu, hehe. Saya lagi jalan-jalan di kampung Pecinan, pingin nikmatin suasana kampung ini.”
“Apa yang mau dinikmatin dari kampung ini? Haha.” Ia tertawa sendiri.
“Saya pingin menikmati sisi lain dari kota ini bu. Ya Pecinan inilah sisi lainnya.” Aku memandang sekeliling kampung Pecinan. Ia malah seperti tidak percaya mendengar jawabanku.
“Neng masih sekolah apa udah kuliah?”
‘Saya udah kuliah, bu.” Jawabku.
“Kuliah di mana neng? Jurusan apa?”
“Psikologi UI, bu.” Jawabku lagi.
“Waw, keren! Kapan-kapan ibu konsultasi sama kamu boleh ya? Haha.” Tanyanya penuh canda.
“Boleh bu, boleh banget malah. Hihihi” Jawabku dengan penuh semangat.
“Mungkin... kalau Tina ga dipaksa nikah muda sama bapaknya dia bisa kaya kamu Mal.” Ucapnya miris. Raut wajahnya berubah. Tak seperti biasanya, kini ia menunjukkan raut kesedihan yang mendalam.
“Iya bu...” Balasku dengan raut muka yang sama.
“Kamu harus berjuang ya mal! Ga semua orang bernasib baik seperti kamu. Orang tuamu pasti sangat mendukungmu.” Ia memberi dukungan kepadaku dengan penuh semangat. Pundakku pun ditepuknya dengan semangat yang sama.
“Iya bu!” Jawabku pun sama semangatnya. Sebenarnya pundakku sakit ditepuknya, hehe. Tapi tak apa, tepukannya itu menyadarkankanku bahwa aku memang benar-benar beruntung! Tak lama lagi aku akan meraih cita-cita masa kecilku menjadi seorang psikolog. Sangat jauh lebih beruntung dari Tina yang memimpikan cita-cita yang sama namun kandas di tengah jalan. Ditambah kedua orang tua yang sangat sayang kepadaku dan mendukungku sedari kecil untuk meraih cita-citaku ini.
“Ayo dimakan! Keasyikan ngobrol jadi lupa ayam gorengnya udah dingin tuh.” Suruh ibu pemilik warung kopi itu agar aku segera memakan makananku. Aku pun lupa dengan makananku saking terlarut dalam bincang-bincang mengesankan yang melibatkan ia sebagai narasumbernya. Padahal perutku sudah sangat ribut sekali tadi.
“Iya bu, hihi.” Aku pun tersenyum kepadanya.
Kami pun kembali tertawa bersama.
Tak lama setelah menghabiskan makananku, aku pamit pulang pada ibu pemilik warung kopi itu. Ia berkata padaku agar jangan lupa sering-sering main ke kampung Pecinan dan ke warung kopinya. Aku pun berjanji akan sesering mungkin main ke sana.
Hari ini aku seperti mendapatkan seton emas. Emas yang lebih berharga dari sekedar emas. Sebuah pelajaran hidup. Tina, anaknya; Wahid, dan terutama ibu pemilik warung kopi itu.
Suatu saat semua akan mengerti, sesungguhnya bukan karena menjadi orang kecil kehidupan akan menjadi kecil. Bukan kecil yang menjadi dasar dari semua alasan untuk menyerah. Bukan kecil yang membiarkan kesalahan berkuasa. Menjadi kecillah untuk mengetahui dunia dan perubahannya. Tunjuklah kebenaran senyata-nyatanya! Tetaplah beraspirasi! Karena kecil itulah yang dapat mengukir arti yang besar bagi diri sendiri dan orang-orang berharga yang mengelilingi.